“Gangnam style” dari penyanyi rap Psy adalah klip musik Korea yang untuk
pertama kali pernah ditayangkan hampir 100 juta kali di Youtube. Rekor
ini merupakan hal yang pertama kali bagi musik pop Korea. Sejak dirilis
pada 15 Juli 2012 lagu tersebut meraih sukses secara global. Psy meraih
peringkat 2 dalam tangga lagu American Billboard dan peringkat 1 di
tangga musik Cina. Kesuksesan ini mendorong Universal Republic Records
untuk mengontrak Psy untuk merilis albumnya di Amerika. Kesuksesan
serupa tidak hanya berhenti di situ, akan tetapi nampaknya akan diikuti
oleh banyak lagu-lagu Korea yang lain. Musik pop Korea telah ada selama
beberapa tahun. Tidak hanya di Korea Selatan atau Asia, akan tetapi juga
di Amerika Latin, Afrika, Timur Tengah, Amerika, dan Eropa.
Menyaksikan keberhasilan peredaran musik pop Korea secara internasional,
kita mengamati apa yang dikenal sebagai “Gelombang Korea” (Korean Wave
atau istilah setempat adalah “hallyu”). Keberhasilan ini tidak hanya
musik, akan tetapi juga film dan drama televisi. Khususnya di Asia,
permintaan akan produk kebudayaan Korea nampaknya akan menjadi saingan
bagi produk serupa dari Jepang dan Barat. Pada awalnya, produksi Jepang
dan Barat mendominasi bagi tayangan musik, film, dan televisi di Asia
sampai munculnya Korean Wave tersebut. keberhasilan Psy menunjukkan
bahwa Korean Wave masih terus menerus memperluas eksistensinya dan
memperoleh pengakuan secara global.
Bagaimanakah sebenarnya pertumbuhan industri hiburan di Korea Selatan
hingga dapat berpengaruh secara global sebagai salah satu bentuk
kebudayaan populer?
Pertama-tama hal itu dapat dilacak dari kebijakan kebudayaan pemerintah
Korea pada tahun 1980-an. Era ini ditandai dengan pembangunan ekonomi
masif dan sistem politik otoritarian. Korea mengalami kemajuan ekonomi
dan masyarakatnya menjadi makmur. Rata-rata pendapatan perseorangan
mula-mula US$ 54 (1968), lalu menjadi US$ 390 (1979). Setelah itu
meningkat menjadi US$ 1.770 (1984) dan US$ 1.320 (1988). Pendapatan ini
memungkinkan setiap penduduk Korea untuk membelanjakan uangnya dalam
memanfaatkan waktu luang.
Pada saat yang sama muncul banyak huru hara politik. Presiden Park
terbunuh (1979) setelah memerintah selama 18 tahun (1961-1979). Rakyat
Korea berharap akan muncul pemerintahan demokratis melalui pemilu yang
mengubah wajah Korea. Tetapi kemudian terjadi kudeta militer (1980) dan
membentuk rezim otoriter baru (1981). Petinggi militer, Chun Doo Hwan
menjadi Presiden sekalipun Chun tahu betapa banyak pihak yang menentang
pemerintahannya. Pemerintah segera menyadari perlu menjauhkan
masyarakat dari aktivitas politik dan pilihan kebijakan itu adalah
industri hiburan. Kebijakan yang dilancarkan dijuluki sebagai kebijakan
3S oleh media setempat. Yang dimaksud dengan 3S adalah singkatan dari
Sport, Sex, dan Secreen. Untuk olahraga pemerintah mengkampanyekan
“Kesejahteraan Negara Melalui Olahraga.” Pemerintah mempromosikan baseball menjadi
olahraga nasional (1981). Liga Baseball Profesional kemudian dibentuk
(1982). Asosiasi olahraga ini dikritik untuk menjauhkan orang dari
aktivitas politik. Namun asosiasi ini meraih keuntungan besar.
Untuk film (screen) dan seks pemerintah menggunakan cara yang lain.
Pemerintah mengendalikan jaringan televisi (1980). Hanya ada 2 stasiun
televisi yang diizinkan (KBS dan MBC). Pemerintahan Chun melakukan
sensor ketat untuk mencegah siaran yang mengandung aspek politik. Dalam
hal ini, muatan penyiaran politik dikontrol ketat, tetapi publikasi yang
mengarah seks diizinkan. Banyak film yang diproduksi yang mengumbar
aurat perempuan. Bahkan di tahun 1988 banyak film porno yang memasuki
Korea, karena Presiden saat itu, Roh Taw Woo, menerapkan kebijakan luar
negeri yang lebih terbuka (1987). Sejak 1987 Korea mengalami
demokratisasi dan Roh adalah Presiden yang pertama kali terpilih melalui
pemilu. Roh mengkampanyekan Korea yang terbuka bagi pasar asing. Ini
merupakan masa di mana impor barang meningkat tajam.
Sistem otoritarian pada tahun 1980-an tadi juga berpengaruh terhadap
industri film. Pemerintah memastikan bahwa film yang diproduksi tidak
mengandung muatan politik, sehingga setiap naskah film harus diperiksa
terlebih dahulu. Namun kebijakan ini dihapus (1988). Pekerja film
memperoleh kebebasan lebih banyak dan muncul film-film yang
mendeskripsikan perubahan sosial dan politik di masa itu. Pada 1987
pasar film diliberalisasi. Kuota impor film dihapus. Kebijakan yang
terbuka mempengaruhi negosiasi dengan Amerika. Pemerintah ditekan oleh
Amerika untuk membuka pintu bagi masuknya film Hollywood. Pada tahun
1987, produksi domestik menghasilkan 89 judul dan impor film mencapai
84. Produk film domestik dan impor film berubah dalam waktu selanjutnya
yaitu 87 dan 175 (1988), 110 dan 264 (1989), dan 111 dan 276 (1990).
Untuk tahun 2005-2010, komposisi tetap didominasi film impor, yaitu 87
dan 253 (2005), 110 dan 289 (2006), 124 dan 404 (2007), 113 dan 350
(2008), 138 dan 311 (2009), dan 152 dan 381 (2010).
Hingga tahun 1987, distribusi film asing hanya dilakukan oleh perusahaan
lokal. Kemudian pemerintah mengizinkan distribusi film Hollywood. Untuk
itu, perusahaan distributor film Hollywood mendirikan cabangnya di
Korea. Sejak tahun 1988, impor film naik dua kali lipat. Pada tahun 1985
hampir 74,8% film diproduksi di Korea. Jumlah ini merosot terus hingga
angka 13,4% (1997). Sesudah 1991 makin sedikit film domestik yang
dibuat. Hal ini berhubungan dengan pemanfaatan subsidi pemerintah yang
kemudian difokuskan untuk menghasilkan film-film yang lebih bermutu.
Sesudah 1998 jumlah produksi film lokal bertambah sedikit demi sedikit.
Pada 2010, jumlah judul yang ada mencapi 152. Pada 10 tahun sebelumnya
hanya 59 judul. Jumlah impor film tetap saja tidak pernah berkurang.
Pada 2010 impor film mencapai 381 judul. Seperti data di atas, maka
semakin banyak film impor yang membanjiri pasar Korea. Akibatnya, 10
perusahaan distributor film lokal bangkrut (1994).
Sekalipun lebih besar dibandingkan produksi film domestik, akan tetapi
jumlah film asing sebenarnya mengalami jumlah penonton. Hal ini
merupakan salah satu penanda setelah munculnya video dan televisi kabel
yang memutar film asing. Pada tahun 2000, pasar film domestik menguasai
35,1% pasar Korea. Artinya sebanyak 64,5% merupakan film asing. Akan
tetapi pada 2003, penetrasi film domestik ke pasar Korea meningkat
menjadi 46,5%, yang bertahan hingga 2006. Posisi seimbang dicapai pada
2007. Sesudah itu animo terhadap film domestik berkurang. Tahun 2008,
film asing menjadi populer, akan tetapi kemudian mengalami penurunan
sejak saat itu. Pada 2011, 53,6% film yang ada diproduksi di dalam
negeri. Film asing menguasai 46,4% pasar film.
Drama televisi kemudian juga menjadi produk hiburan penting Korea.
Produk ini menduduki peringkat pertama yang diekspor dari industri
penyiaran. Drama yang populer adalah yang bersifat drama romantis dan
drama sejarah. Drama-drama ini memperoleh sambutan bagus secara
internasional. Kebanyakan produksi ini mencapai 60-70 episode. Setiap
episode berdurasi 50 menit. Harga produksi drama meningkat tahun demi
tahun. Pada 2000, stasiun televisi Taiwan, Gala TV, membayar US$ 1.000
untuk tiap episode drama Korea. Saat itu produksi yang sama dari Jepang
berharga US$ 15.000 dan US$ 20.000. Dewasa ini harga tiap episode drama
Korea mencapai US$ 6.000 dan US$ 12.000.
Produksi drama juga memperoleh sensor ketat pada 1980-an. Oleh sebab
itu, drama televisi dijauhkan dari substansi politik. Para pembuatnya
kemudian lebih senang membuat drama sejarah, karena tidak menilai
situasi sekarang dan lebih “selamat.” Judul yang paling populer di masa
itu adalah Founding the Country dan 500 Year of Joseon Kingdom.
Perubahan terjadi pada 1990-an. Sejak itu televisi yang ada (KBS dan
MBC) memperoleh saingan baru dengan hadirnya stasiun televisi SBS. KBS
dan MBC lalu menginvestasikan banyak uang untuk meningkatkan kualitas
produksi drama. Eyes of Down merupakan drama yang paling meraih
sukses. Stasiun MBC membenamkan uang sebesar US$ 20.000 untuk
memproduksinya. Ini merupakan investasi besar pertama kali untuk membuat
produk lokal seperti drama. Serial ini meraih sukses di Korea. Pada
tahun 1994, dirilis drama Jealousy yang ditujukan untuk remaja.
Lagu tema drama ini mencapai puncak tangga lagu dan mendorong untuk
menjual album secara khusus. Pada 1996 dimulai era televisi kabel.
Karena konsumen harus membayar, maka jaringan televisi kabel ini
kemudian berkerja keras menghasilkan tayangan yang bagus. Kompetisi
produksi drama meningkat. Pada 1996, SBS meluncurkan drama politik
pertama yang berjudul Sandglassyang menggambarkan kisah 3 orang rakyat dalam masa otoritarian. Produksi ini memperoleh rating sebesar 64,5%.
Drama merupakan tayangan televisi yang paling banyak memperoleh jumlah
penonton jika ditinjau dari rating yang diperoleh. Misalnya drama First Love (1997,
KBS) meraih 65,8%. Apalagi tayangan itu kemudian dapat disaksikan
melalui internet. Tetapi hanya MBC, KBS, dan SBS yang berhasil membuat
drama ayng menarik. MBS merupakan yang paling banyak meraih untung. Dari
50 judul (1997-2004), sebanyak 25 judul diproduksi oleh MBS.
Peran televisi juga memfasilitasi produksi musik. Pada tahun 1980-an
tidak ada perusahaan musik independen. Televisi yang kemudian menentukan
apa yang akan ditonton oleh masyarakat. Masing-masing stasiun televisi
mempunyai penyanyi dan band sendiri-sendiri. Para penyanyi harus
didukung oleh band-band tersebut dan dilarang tampil dengan iringan yang
dibawanya sendiri. Sebelum 1990-an, televisi memperngaruhi industri
musik untuk produksi, peredaran, dan penjualan. Seperti sudah diuraikan
di atas, televisi dikendalikan oleh pemerintah.
Sejak awal 1990-an, industri musik bergerak menjadi independen. Sesudah
1990 juga televisi swasta diizinkan melakukan siaran. Kehadiran televisi
baru ini memanfaatkan musik sebagai program utama. Klip, rekaman
konser, liputan pertunjukkan, dan wawancara dengan penyanyi pop terus
menerus tampil di televisi. Industri musik menyambut peluang ini dan
menggunakan televisi sebagai media untuk memasarkan arti pendatang baru.
Penyanyi dari perusahaan besar seperti SM Entertaintment, YG
Entertainment, dan JYP Entertainment tampil di televisi secara live.
Televisi kemudian berpengaruh bukan saja karena lirik musik, akan tetapi
juga elemen visual. Oleh sebab itu, gaya dan gerak group musik kemudian
menjadi penting. Untuk pasar domestik, musik pop memang menjadi raja,
menguasai secara meningkat: 71% (1998), 74% (1999), 75% (2000), dan 76%
(2001). Musik asing—dalam hal ini Jepang dan Amerika—hanya menguasai 20%
saja. Semua itu tak lepas dari kebijakan pemerintah. Undang-Undang
Penyiaran 2003 mewajibkan 60% tayangan televisi harus dialokasikan untuk
menayangkan musik-musik populer. Musik asing menjadi sangat sulit untuk
bersaing tampil di televisi Korea.
Komentar
Posting Komentar